Senin, 02 September 2013

OSPEK BUKAN AJANG PERPELONCOAN

OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus) terkadang menjadi hal yang ditakuti oleh para mahasiswa baru. Penugasan OSPEK yang terkadang aneh tentu sangat memberatkan para calon mahasiswa. Belum lagi jika terdengar ada kasus kekerasan ketika OSPEK berlangsung. Hal-hal tersebut yang terkadang membuat calon mahasiswa baru menjadi takut akan OSPEK dan membuat OSPEK itu sendiri menjadi tidak bermakna.
OSPEK tidak perlu diisi dengan kegiatan kekerasan dan kegiatan yang memberatkan mahasiswa baru. Kegiatan yang seperti itu justru membuat mahasiswa baru tertekan dan hanya akan menimbulkan dampak negatif. OSPEK seharusnya diisi dengan kegiatan-kegiatan yang edukatif dan menyenangkan agar para mahasiswa baru mampu mengenal lingkungan barunya. OSPEK harus memunculkan rasa persahabatan, baik antar mahasiswa baru, antara mahasiswa baru dan lingkungan kampus, maupun antara mahasiswa dan panitia OSPEK.
Panitia OSPEK hendaknya memberikan contoh yang baik bagi mahasiswa baru, bukan kegiatan yang berbau perpeloncoan. OSPEK harus memberikan makna bagi mahasiswa baru agar mahasiswa baru mengenal kampusnya. Kegiatan OSPEK harus bersifat edukatif. Panitia OSPEK dan warga kampus hendaknya mampu membimbing dan mengarahkan mahasiswa baru melalui kegiatan-kegiatan yang membangun. Menyambut keluarga baru hendaknya dengan kegiatan yang akrab, menyenangkan, serta edukatif agar semua pihak merasa nyaman tanpa ada beban.

Pihak kampus tentu harus melarang segala bentuk kekerasan ketika OSPEK. OSPEK tidak perlu berupa kegiatan yang memberatkan, yang penting makna dari OSPEK itu tersampaikan kepada mahasiswa baru. Untuk mengantisipasi bentuk kekerasan dari OSPEK, maka perlu ada pengawasan dari pelaksanaan OSPEK. Perlu ada pertanggungjawaban dari masing-masing panitia OSPEK. Segala pelanggaran terhadap pelaksanaan OSPEK harus mendapat sanksi, agar tidak ada lagi kekerasan ketika OSPEK. Generasi yang berpendidikan tentunya tidak melakukan kekerasan untuk menyambut mahasiswa baru. Dengan adanya mahasiswa baru justru lebih meningkatkan persaudaraan dan persahabatan.

TERMUAT DI HARIAN JOGJA
SENIN, 2 SEPTEMBER 2013

Senin, 12 Agustus 2013

MENJADI 200%

Terinspirasi oleh kata-kata dosenku. “Kalian para wanita, PILIH SALAH SATU, ingin menjadi guru atau seorang ibu. Keduanya memiliki peran yang sangat penting. Jika ingin menjadi keduanya maka kalian harus memiliki kemampuan 200%”. Ya 200%, 100% menjadi seorang guru dan 100% menjadi seorang ibu.
Tahukah? Guru dan ibu adalah dua hal yang amat penting. Guru: mendidik calon penerus bangsa dari berbagai generasi. Ibu: mendidik, menjaga, merawat sang anak sehingga tumbuh dan berkembang dengan optimal. Dosenku berkata lagi, “kalian kira menjadi ibu tidak perlu sekolah tinggi?” Menjadi ibu juga perlu pendidikan tinggi sehingga seorang ibu mampu mendidik anaknya secara optimal.
Seorang anak tentu harus mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Kurangnya perhatian dari orang tua dapat menyebabkan berbagai dampak negatif. Banyaknya wanita karir sebagai dampak emansipasi wanita tentu menjadi salah satu masalah. Wanita karir yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya terkadang melupakan hal yang lebih penting, yaitu mengurus anak. Tak jarang anak menjadi brutal dan melakukan hal-hal negatif karena kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, terutama ibu.
Wanita bekerja boleh saja, namun bila sudah berumah tangga, jangan lupakan hal yang juga penting, yaitu menjadi ibu dari anak dan istri bagi suami. Oleh karena itu, para wanita karir harus menjadi 200%. Dan bagi para calon ibu guru, 200% adalah WAJIB (kata dosenku). Guru dan ibu bukanlah pekerjaan yang sepele. 100% menjalani profesi sebagai ibu guru dan 100% menjalani hidup sebagai seorang ibu.
Bagi para calon ibu guru, ingat terus yaa 200%! J Jangan mencampurkan antara urusan pribadi jika sudah berada sekolah. Guru: teman dan orang tua bagi murid-muridmu. J


Minggu, 26 Mei 2013

Vidi Qur’an: Video Digital Al Qur’an, Media Mengatasi Buta Huruf Al Qur’an Berbasis Audiovisual


Nurrina Dyahpuspitaa, Lina Puspitaning Rahayub, Witrias Swestika Nc

a,b,cFakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

a08996688036
b08996640080
c085643296840

Era globalisasi membawa banyak pengaruh dan perubahan dalam berbagai kehidupan masyarakat. Salah satunya dalam bidang sosial yang menuntut semua kalangan untuk semakin produktif. Tingginya iklim persaingan telah membuat banyak orang sibuk dengan urusan duniawinya, tanpa mempersiapkan bekal untuk akhirat kelak. Kesibukan dunia telah membuat banyak orang tidak sempat atau bahkan tidak meluangkan waktu untuk belajar memahami Al Qur’an. Hal tersebut membuat mereka tidak dapat membaca huruf Al Qur’an. Padahal mereka beragama Islam. Dan saat mereka tua menyadarinya, tak sedikit yang merasa malu untuk belajar dari awal.
Dalam kehidupan sehari-hari, semua umat muslim harus mampu beribadah dan memegang teguh ajaran Al-Qur’an. Kandungan Al Quran tersebut merupakan ajaran yang paling benar karena bersumber dari wahyu Allah kepada utusan-Nya melalui perantara malaikat Jibril. Sehingga, semua manusia perlu untuk mempelajari dan mengamalkannya. Dan tak semestinya buta huruf Al Quran menghalangi niat untuk belajar.
Berdasarkan data yang diperoleh, dibuat alternatif untuk mengurangi angka buta huruf Al Qur’an di atas berupa Qur’an Video. Qur’an Video ini merupakan media yang dapat digunakan sebagai sarana belajar Al Quran mulai dari ilmu dasar seperti huruf, angka, ayat, kalimat dan terjemahan kandungan Al Qur’an yang disertai dengan cara membacanya. Selain itu, dilengkapi pula dengan video yang menggambarkan kandungan ayatullah. Media ini juga bersifat audiovisual sehingga memudahkan pengguna dalam belajar Al Qur’an karena melibatkan aspek penglihatan dan pendengaran. Dengan adanya Qur’an Video ini, diharapkan dapat mengurangi jumlah angka buta huruf Al Qur’an, meningkatkan kualitas bacaan, dan  dapat menenangkan hati para pembaca yang menerapkan kandungan ayatnya.


Kata kunci: Qur’an Video, Buta Huruf Al Qur’an, Media Audiovisual



Diajukan dalam rangka mengikuti Lomba Islamic Chemistry Week ITS

Selasa, 21 Mei 2013

MENGAJAR BUKAN MENGHAJAR, MENDIDIK BUKAN MENGHARDIK


“Pahlawan tanpa tanda jasa” itulah sebutan untuk guru yang mengabdi demi mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Ilmu pengetahuan, nilai (value), serta keterampilan diberikan oleh guru kepada muridnya yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Dari guru seorang anak belajar membaca, menulis, dan berhitung. Seorang anak yang bagaikan selembar kertas putih mulai belajar berbagai macam hal yang diajarkan oleh gurunya.
Begitu mulia tugas guru untuk menjadi seorang pendidik dalam mengentaskan kebodohan di negeri ini. Namun, masih sering kita jumpai guru melakukan tindak kekerasan kepada murid. Entah itu dengan memukul atau dengan berkata kasar kepada murid. Tak jarang guru memukul siswanya sampai si siswa mengalami luka, baik itu luka secara fisik maupun psikis. Luka fisik akan menimbulkan bekas luka pada tubuh anak, bahkan kekerasan secara fisik dapat menyebabkan kematian pada anak. Memukul anak dengan menggunakan benda seperti kayu, rotan dapat menyebabkan luka pada tubuh anak, atau apabila anak sudah tidak sanggup menerima pukulan tersebut dapat menyebabkan kematian seorang anak.
Luka psikis agak sulit untuk diobati. Siswa akan mengalami gangguan mental, contohnya siswa akan menjadi lebih agresif karena meniru tindakan sang guru. Anak-anak masih berada pada tahap di mana ia meniru perilaku yang dilakukan orang dewasa. Saat anak sering menjumpai perilaku kekerasan maka anak akan meniru tindakan yang dilihatnya. Anak akan menjadi agresif dan mudah marah serta menggunakan kekerasan ketika menemukan suatu masalah. Dampak lain adalah siswa menjadi pendiam dan tidak mau menyampaikan pendapatnya saat di kelas karena takut dimarahi atau dipukul gurunya. Tak jarang siswa SD masih merasa takut salah jika ditanya oleh gurunya, ia lebih baik diam daripada menjawab dengan salah. Hal ini dapat mematikan kreativitas siswa, siswa seakan dihantui dengan rasa bersalah. Apabila hal ini terus terjadi, seorang anak akan kehilangan daya kreativitasnya sampai ia dewasa kelak.
Siswa SD memang sulit di atur, banyak bicara, suka berlari di dalam kelas. Ini semua membutuhkan kesabaran dan kreativitas dari guru untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan dan kondusif. Guru tidak boleh ringan tangan dan membentak siswa dengan kata-kata kasar, karena akan berdampak pada kepribadian siswa. Guru harus bisa menjadi orang tua dan teman yang baik bagi siswa. Guru harus mampu menjadi pembimbing di saat siswa membutuhkan bimbingan. Guru adalah orang tua di sekolah. Oleh karena itu guru harus mampu mengayomi seluruh siswa yang ada di kelas. Saat siswa sulit diatur, di sinilah guru ditantang untuk bisa kreatif dan inovatif dalam merancang suasana kelas. Guru adalah teman bagi siswa, saat siswa membutuhkan bantuan. Oleh karena itu, guru bukanlah orang yang harus ditakuti oleh siswa, guru adalah teman dan orang tua bagi siswa.
Siswa akan lebih menyukai suasana belajar yang menyenangkan dan gembira. Saat kondisi senang dan gembira itulah siswa akan lebih mudah menyerap materi pelajaran yang disampaikan guru. Hal sebaliknya, apabila siswa dalam kondisi yang tertekan, marah, sedih, atau ketakutan maka kemampuan belajar siswa menjadi kurang maksimal. Pada kondisi tersebut, kemampuan otak untuk berfikir rasional menjadi mengecil. Apabila siswa belajar dalam kondisi yang menurutnya kurang menyenangkan, maka siswa akan merasa kesulitan untuk menerima materi pembelajaran yang diberikan guru.
Guru yang ramah, humoris dan menyenangkan akan lebih disukai oleh siswanya, daripada guru yang berlabel galak. Guru yang berlabel galak akan ditakuti oleh para siswanya dan siswa akan menjadi tidak nyaman saat proses pembelajaran berlangsung. Siswa akan merasa tertekan dan depresi karena takut salah apabila diajar oleh guru yang sudah dicap galak. Siswa yang menjawab dengan salah tidak boleh dibentak atau bahkan dipukul. Jawaban salah juga harus tetap diberi penghargaan oleh guru. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa tidak merasa minder dari teman-teman yang lain. Justru dengan jawaban salah tersebut siswa akan belajar untuk mencari jawaban yang benar. Seperti halnya Thomas Alfa Edison, penemu lampu pijar, yang harus melakukan seratus kali percobaan sebelum ia berhasil menemukan lampu pijar.
Guru harus mampu membuat strategi pembelajaran yang menyenangkan sehingga bisa membuat suasana kelas menjadi kondusif. Jalan kekerasan sangat tidak dianjurkan untuk menertibkan siswa yang nakal dan ramai saat di kelas. Tugas mulia guru adalah mengajar, bukan menghajar siswa, mendidik siswa bukan menghardik siswa. Guru adalah orang yang akan “digugu dan ditiru” oleh siswanya, jadi tidak sepantasnya guru melakukan kekerasan pada siswa yang hanya akan membawa dampak negatif bagi perkembangan siswa. Dampak negatif tersebut dapat terbawa sampai anak dewasa atau bahkan tua nanti.


Termuat di Koran Merapi
Kamis, 14 Februari 2013

Senin, 01 April 2013

MENDIDIK ITU MULIA, KAWAN


Sekarang bukanlah waktunya untuk mengeluh. Mengeluh karena salah jurusan? Buang saja rasa itu. Mulailah mencintai apa yang kita miliki sekarang. Berilah motivasi pada diri kita sendiri agar kita merasa mantap pada apa yang akan kita jalani. Kita berpijak dengan kaki kita masing-masing, saat kita tidak yakin akan jalan yang akan kita tempuh, maka selamanya kita akan terombang-ambing. Kalu bukan diri sendiri yang memperjuangkan, lalu siapa lagi yang akan memperjuangkan?
Sering kita mengeluh karena kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Ingatlah, bahwa Allah memberikan apa yang terbaik untuk kita meskipun hal itu tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Aku teringat, kalimat-kalimat yang sering ditanyakan oleh dosen-dosenku, “apa motivasi kalian masuk di PGSD? Karena keinginan sendiri atau karena paksaan orang tua atau karena salah jurusan?” Kalau kalian para calon bapak dan ibu guru, yang mana alasan kalian masuk PGSD? Hanya kalian yang tahu jawabannya.. J
Aku akan sedikit bercerita sedikit pengalamanku menjadi seorang calon Ibu Guru, semoga bermanfaat. J

Observasiku di SD N 3 Pengasih, Kulon Progo
Pagi itu, anak-anak sedang beristirahat. Aku datang dengan temanku dengan menggunakan sepeda motor. Aku mulai memasuki gerbang SD. Sebagian anak melihat ke arah kami, lalu mereka menghampiri kami berdua, “Ibu ibuu, ibuu mau KKN di sini ya?” kata mereka manja, sambil ada yang membonceng ke sepeda motor yang kubawa, “bu, aku naik yaa?” kata mereka riang. Aku bilang, “ehh hati-hati naiknya ya” Mereka naik ke motor yang kubawa sampai ke tempat parkir, lalu mereka turun.
Dengan riang anak-anak SD itu menyambut kami, mereka mengajukan berbagai pertanyaan. Kami mudah akrab. Mereka mencium tanganku, seakan aku guru mereka. “Nama ibu siapa?” kata mereka riang. “Ibu Lina. Kalau kamu namanya siapa?” kami saling berkenalan. Sungguh keceriaan khas anak-anak. Mereka bercerita banyak.
Ketika aku masuk ruang kelas, mereka berbondong-bondong meminta berkenalan denganku. Mereka menjabat dan mencium tanganku. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Aku bertemu dengan sosok-sosok generasi penerus bangsa yang akan membangun bangsa Indonesia kelak. Mereka membutuhkan pondasi yang kuat untuk bisa membangun bangsa yang hebat. Merekalah anak-anak SD, yang kelak akan menjadi sahabat serta anakku. Dan akulah guru, orang tua, dan sahabat yang harus bisa menuntun mereka menuju jalan tujuan mereka masing-masing. J

Pengalamanku menjadi Ibu Guru bagi Murid-Muridku
Aku memutuskan untuk menjadi guru les di sebuah bimbingan. Menjadi “Ibu Guru” di kelas yang lebih sedikit daripada kelas klasikal di SD yang sesungguhnya. Aku bertemu dengan banyak anak dan dengan banyak karakteristik dan potensi. Banyak karakteristik itulah yang membuatku harus memutar otak untuk bisa membuat pembelajaran yang menarik untuk mereka. Dari sekian banyak kelas yang aku ajar, kelas 3 lah yang menarik perhatianku. Mereka membuatku harus mengeluarkan tenaga ekstra ketika mengajar. Di kelas itu ada anak yang sangat ramai, juga ada yang sangat pendiam. Seorang guru dituntut untuk bisa merangkul semua peserta didiknya. Namanya Aan, dia aktif, paling aktif di antara anak kelas 3. Dia suka berlari kesana kemari, suka bercerita ketika sedang diajar, tapi menurut ketika kuberi tanggung jawab. Pernah kusuruh dia menjadi asistenku, dan hanya dia yang kusuruh untuk menuliskan jawabannya di papan tulis. Meskipun dia banyak bercerita, tetapi ketika kubacakan soalnya, dia langsung menuliskan di papan tulis. Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit kutemukan cara untuk lebih dekat dengannya.
Satu lagi anak kelas 3 yang menarik perhatianku, namanya Fery. Pipinya sangat chubby, badannya gemuk dan sangat menggemaskan menurutku. Dia sangat ramah kepadaku, pernah dia bertanya kepadaku, “Bu, kokk lama sekali tidak ke sini?”, aku sedikit kaget dan terharu mendengarnya. Kamu perhatian sekali nak.. J Pernah juga dia bertanya, “Bu, nanti Ibu mengajar kelas berapa?”, kujawab “Ibu mengajar kelas 6 e”. lalu dia membalas lagi “kokk tidak pernah mengajar kelas 3 lagi bu?”. Hari itu bukan jadwalku mengajar kelas 3, dan aku sudah tidak lagi diberi jadwal untuk mengajar kelas 3. Ketika jam istirahat les, dia sering mengunjungiku ketika aku mengajar les di kelas lain. Dia mengintip dan sedikit-sedikit bertanya kepadaku, kadang juga dia menggodaku.

Aku Bertemu Mereka saat Pertandingan Futsal
Malam itu, Rabu, 27 Maret 2013 aku memutuskan untuk menonton pertandingan futsal final kelasku. Awalnya aku agak ragu, mau berangkat menonton atau tidak karena badanku agak kurang sehat. Akhirnya aku memuruskan untuk berangkat. Sesampainya di sana, aku kaget. Aku melihat mereka. Kedua murid lesku. Aan dan Fery. J
Ternyata mereka menonton juga. Mereka diajak temanku yang juga merupakan guru les mereka. Kucolek mereka. Ternyata mereka tidak merespon cepat, mereka asyik menonton pertandingan. Lalu, saat mereka menoleh ke belakang, mereka berkata “lhoo Bu Lina”. Aku membalasnya, “haiii, kalian nonton juga? Ke sini sama siapa?”
Ternyata Aan, sang anak yang “luar biasa”, bisa akrab dan akur denganku. Ternyata begini cara mendekati Aan. Saat aku mulai mengikuti kesukaannya, dia akan luluh juga. Yaa, itulah anak-anak. J Kutemani mereka menonton. “Sini Fery mau dipangku Bu Guru? (karena kebetulan bangkunya terpakai semua)” Aku berbagi tempat duduk dengan Aan, dan Fery kupangku. Ternyata mereka serius sekali menonton, terutama Aan. Saat kelasku membutuhkan dukungan, mereka berdua juga berteriak mendukung kelasku, dengan senjata botol kosong sebagai musik pengiringnya.
Benar-benar aku senang bertemu mereka. Aku jadi tahu, ternyata anak punya sisi untuk dapat didekati. Tinggal bagaimana kita bisa menemukan sisi kedekatan dengan mereka. Bu Guru sayang kalian. J


Banyak pengalaman yang aku dapatkan menjadi seorang guru. Begitulah dunia anak-anak, mereka banyak bermain, berlari, berbicara, dan memiliki rasa ingin tahu yang amat tinggi. potensi mereka berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Potensi itulah yang perlu digali dan digali untuk dapat berkembang secara optimal. Merekalah anak-anak SD dengan sejuta kepolosan, mereka anak-anak yang perlu mengetahui banyak hal dari guru mereka. Mereka membutuhkan sosok guru sebagai orang tua dan sahabat di sekolah.
Ketika kamu bertemu dengan mereka secara langsung, maka kau akan merasakan sendiri panggilan jiwa dan tugas mulia untuk mendidik seorang anak menjadi orang luar biasa. Dalam dadamu akan bergemuruh, “aku ingin mereka bisa, aku ingin mereka tahu, aku ingin mereka paham, aku ingin mereka menjadi generasi penerus bangsa ini menjadi bangsa yang hebat”. Mendidik itu mulia, kawan, ketika kita ikhlas menjalaninya. Menjadi guru itu panggilan jiwa, bukan karena terpaksa. Selamat berlomba-lomba dalam kebaikan J

Kamis, 24 Januari 2013

MENJANGKAU HARAPAN WARGA MISKIN


Penghapusan label Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) oleh Mahkamah Konstitusi tentu menjadi sebuah kejutan baru bagi dunia pendidikan. RSBI/SBI dianggap telah melalaikan tugas negara dalam menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi semua warga negara Indonesia. Adanya label RSBI/SBI seakan-akan membuat pendidikan yang berkualitas hanya berada di sekolah yang berlabel RSBI/SBI, sedangkan sekolah yang tidak berlabel RSBI/SBI dianggap bukan sekolah yang berkualitas.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab IV pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Jelaslah bahwa menurut UU tersebut bahwa “setiap warga” berhak memperoleh pendidikan, maka warga yang miskin pun berhak memperoleh pendidikan yang bermutu tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak. Oleh karena itu, penghapusan label RSBI/SBI merupakan keputusan yang tepat untuk menciptakan pendidikan yang merata bagi semua warga negara Indonesia.
Sekolah-sekolah yang belabel RSBI/SBI menciptakan suatu kastanisasi pendidikan. Siswa yang bersekolah RSBI/SBI seakan berada di kasta yang paling tinggi, sedangkan siswa-siswa nonRSBI/SBI berada pada kasta yang rendah. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah RSBI/SBI dapat mengurangi rasa cinta akan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa daerah untuk melestarikan kebudayaan-kebudayaan daerah. Bangsa yang hebat adalah bangsa yang tetap bisa mengikuti arus globalisasi, tanpa melupakan budaya nasional dan budaya daerahnya.
Diskriminasi pendidikan sangat terlihat dengan adanya sekolah-sekolah RSBI/SBI. Mahalnya biaya di Sekolah Bertaraf Internasional, membuat warga yang tingkat ekonominya rendah merasa minder untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang telah bertaraf internasional. Dan pada akhirnya masyarakat golongan bawah hanya dapat menyekolahkan anaknya di sekolah biasa yang sarana dan prasarananya kurang. Sedangkan bagi siswa yang kaya, akses pendidikan menjadi sangat mudah karena mereka mampu membayar mahal untuk dapat duduk di bangku sekolah yang memiliki sarana dan prasarana yang sangat lengkap.
Di saat masih ada siswa yang tidak mampu mendapatkan pendidikan karena faktor biaya, RSBI/SBI semakin membuat siswa miskin semakin sulit mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkulitas harus bisa dijangkau oleh seluruh warga negara Indonesia tanpa membedakan antara siswa miskin dan siswa kaya. Siswa miskin juga berhak memperoleh pendidikan yang berkualitas tanpa biaya yang mahal.
Pendidikan bermutu tidaklah harus mahal, itulah yang diinginkan setiap warga miskin agar dapat memperoleh keadilan dalam bidang pendidikan. Dengan dihapuskannya RSBI/SBI diharapkan semua warga dapat memperoleh pendidikan yang bermutu tanpa harus terbentur oleh mahalnya biaya pendidikan. Penghapusan RSBI/SBI diharapkan dapat menghapuskan kastanisasi dan diskriminasi pendidikan di Indonesia agar terciptanya keadilan pendidikan bagi siswa miskin dan siswa kaya.
Sekolah bukanlah tempat menunjukkan kekayaan yang dimiliki, namun sekolah merupakan wahana untuk membentuk generasi penerus bangsa yang berjiwa Pancasila. Sekolah bukanlah ladang bisnis, sekolah harus mampu menyantuni siswa-siswa miskin untuk mendapatkan bantuan sekolah gratis. Dengan dihapuskannya RSBI/SBI diharapkan tidak ada lagi iuran yang memberatkan orang tua murid. Di lain pihak, penghapusan RSBI/SBI diharapkan tidak menurunkan kualitas sekolah-sekolah yang dulunya berlabel RSBI/SBI. Meskipun tidak lagi berlabel RSBI/SBI, sekolah harus tetap mempertahankan kualitas pendidikan yang dimiliki.
Sekolah harus benar-benar menjangkau seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat golongan bawah sampai masyarakat golongan atas. Masyarakat golongan bawah tentu memiliki harapan besar agar dapat hidup lebih baik dengan memperoleh pendidikan. Mereka ingin mengubah jalan hidup menjadi lebih baik melalui pendidikan. Mereka ingin kebutuhan akan pendidikan terpenuhi. Pemerintah tidak boleh memupuskan harapan warga miskin untuk memperoleh pendidikan, kebijakan pemerintah harus bisa menjangkau warga miskin untuk dapat memperoleh pendidikan.
Setelah dihapuskannya RSBI/SBI ini diharapkan tidak hanya sekadar ganti baju. Tidak ada lagi evolusi dari sekolah RSBI/SBI yang muncul dengan modus biaya sekolah yang mahal. Tidak perlu ada lagi jenis RSBI/SBI lain yang akan menghiasi dunia pendidikan Indonesia agar terciptanya pemerataan pendidikan. Dan kebijakan ini semoga saja tidak hanya sekadar ganti nama dari RSBI/SBI menjadi nama lain yang lebih keren.



Termuat di HARIAN JOGJA
Selasa, 22 Januari 2013