Rabu, 26 Desember 2012

MAHASISWA DI UJUNG ENDE



       Sebagaimana tercantum dalan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa semua warga negara Indonesia memperoleh hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Namun, nampaknya hal ini belum berjalan sebagaimana mestinya, masih banyak daerah di Indonesia yang belum memperoleh pendidikan yang layak. Bahkan masih ada daerah yang belum mempunyai akses pendidikan, kalaupun ada itu pun harus ditempuh dengan jarak yang bergitu jauh.
Tidak meratanya akses pendidikan di daerah-daerah di tanah air harus menjadi perhatian yang serius. Pasalnya, pendidikan merupakan hal yang penting bagi semua warga Indonesia. Warga yang berada di daerah-daerah pelosok dan terpencil juga harus mendapatkan pendidikan yang layak. Namun, karena terbatasnya sarana dan prasarana yang ada, maka pendidikan di daerah-daerah tersebut masih sangat minim, bahkan tidak ada.
Kurang meratanya akses pendidikan di daerah-daerah pelosok dan terpencil tersebut menyebabkan anak-anak dan warga di daerah tersebut tidak dapat memperoleh pendidikan yang sama dengan anak-anak di perkotaan. Hal ini menyebabkan anak-anak dan warga di daerah pelosok dan terpencil menjadi buta aksara. Anak-anak dan warga tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung yang disebabkan tidak adanya akses pendidikan di daerah tersebut.
Kurangnya guru di daerah pelosok dan terpencil tersebut merupakan faktor utama yang menyebabkan buta aksara di daerah tersebut. Banyak guru yang kurang berminat untuk mengajar di daerah-daerah pelosok dan terpencil. Kondisi geografis yang sulit ditempuh menjadi salah satu alasan kurangnya guru di daerah-daerah terpencil dan pelosok. Medan yang jauh dan sulit ditempuh menjadi salah satu penyebab banyak guru yang tidak mau mengajar di daerah-daerah pelosok dan terpencil. Kurangnya jumlah guru di daerah-daerah terpencil perlu menjadi bahan kajian bagi kita semua agar pendidikan dapat merata di semua daerah di tanah air, tidak terkecuali daerah pelosok dan terpencil.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu ada alternatif pemecahan masalah agar masyarakat di daerah pelosok dan terpencil tidak selamanya terpuruk dalam hal pendidikan. Anak-anak di daerah terpencil perlu mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak-anak di daerah-daerah lain.
Mahasiswa khususnya mahasiswa jurusan kependidikan harus memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan, khususnya di daerah-daerah pelosok dan terpencil. Anak-anak di daerah pelosok tersebut sangat membutuhkan ilmu pengetahuan serta akses pendidikan. seperti yang dilakukan oleh Slamet Suparyoto yang mengajar di SD Inpres Tiwerea, sebuah sekolah dasar yang berada di Desa Jembu Rea, Nanggapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapai SD tersebut tidaklah mudah, karena harus melewati jalan berbukit, lembah yang curam, menyeberangi sungai, kondisi geografis yang sangat ekstrem. Jarak yang jauh untuk sebuah perjuangan mendidik anak bangsa (http://uny.ac.id/, 3/10).
Mahasiswa calon pendidik dapat memberikan kontribusi besar terhadap dunia pendidikan di Indonesia, mereka bisa memberikan pendidikan dan pengajaran di daerah Ende. Mahasiswa calon pendidik harus selalu diberi penguatan komitmen agar mereka siap dan mampu mengajar di daerah-daerah terpencil dan pelosok seperti di daerah Ende tersebut. Komitmen sangatlah diperlukan bagi para mahasiswa kependidikan agar mereka berani di tempatkan di mana saja, tak hanya di daerah kota, namun juga di daerah pelosok dan terpencil di tanah air.
Anak-anak di daerah Ende tersebut memiliki semangat besar untuk belajar. Jarak yang amat jauh dan kondisi geografis yang sangat ekstrem tidak menjadi kendala bagi mereka untuk dapat menimba ilmu. Dengan bangunan sekolah yang apa adanya, kegiatan belajar mengajar pun berlangsung. Terkadang satu guru bisa mengajar sampai tiga kelas. Atau satu ruang kelas digunakan untuk tiga kelas sekaligus. Di daerah seperti itu, guru memiliki peran yang sangat penting karena di situ guru dituntut untuk memberikan penguatan-penguatan pada siswa tentang mata pelajaran dan nilai-nilai moral pada siswa.
Para mahasiswa dalam memberikan materi pelajaran kepada siswa di daerah pelosok dan terpencil harus menyesuaikan dengan kondisi alam serta keadaan sekeliling siswa. Mahasiswa dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di daerah tersebut untuk memudahkan siswa dalam menerima materi pelajaran. Sebagai contoh, untuk daerah yang banyak terdapat pohon-pohon, dapat memanfaatkan ranting-ranting pohon sebagai media pembelajaran matematika di jenjang Sekolah Dasar. Untuk daerah pesisir pantai, dapat belajar IPA Sekolah Dasar dengan mengamati ombak di pantai. Guru juga bisa mengajak siswa untuk belajar di luar kelas (outdoor) agar para siswa tidak jenuh dengan hanya belajar di ruang kelas. Siswa membutuhkan suasana yang santai dan nyaman agar mereka dapat dengan mudah menyerap dan menerima materi pelajaran yang diberikan oleh guru.
Selain belajar dengan alam, anak-anak di daerah Ende, Nusa Tenggara Timur juga perlu sekali-kali diperkenalkan dengan teknologi informasi. Mahasiswa dapat melakukan proses pembelajaran dengan menggunakan laptop agar anak-anak mengetahui perkembangan teknologi. Anak-anak pasti akan senang jika guru mampu berinovasi dengan menggunakan media elektronik seperti laptop.
Para siswa di daerah Ende juga sangat harus dikenalkan dengan beragam kebudayaan nusantara agar mereka mampu menghargai dan menghormati keanekaragaman budaya yang ada di nusantara Indonesia. Pengenalan kebudayaan Indonesia ini sangat urgen diberikan kepada siswa-siswa agar mereka mau menerima perbedaan yang ada dan saling toleransi antar kebudayaan yang ada di nusantara. Dengan penanaman nilai kebudayaan ini diharapkan para siswa dapat memahami pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Peran mahasiswa di sini adalah memberikan pembelajaran, pendidikan, serta bimbingan kepada para anak di daerah pelosok dan terpencil.
Kegiatan mendidik dari para mahasiswa ini dapat menjadi wadah bagi para mahasiswa sebagai agent of change dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di tanah air Indonesia. Kegiatan sosial ini dapat dihimpun dan menjadi organisasi yang bergerak di bidang sosial pendidikan. Kegiatan ini diharapkan mampu menjadi peran pergerakan mahasiswa dalam dunia pendidikan. Menumbuhkan berbagai hal yang belum diketahui oleh anak-anak di daerah terpencil dan pelosok. Mulai dari ilmu pengetahuan, nilai-nilai dalam masyarakat, kebudayaan nusantara, pendidikan karakter, serta banyak hal lain.
Apabila semua mahasiswa memiliki kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya peran mereka di daerah-daerah terpencil, maka pendidikan di Indonesia akan semakin merata. Anak-anak di daerah terpencil dapat menikmati pendidikan dari para mahasiswa. Persatuan dan kesatuan bangsa akan terjaga, tak ada diskriminasi antara anak di perkotaan dan anak di daerah pelosok negeri.
Hal ini tentu juga harus dibarengi dengan peran serta pemerintah dalam mendukung segala sarana dan prasarana di daerah-daerah terpencil tersebut akar pendidikan di daerah tersebut tidak semakin tertinggal. Pihak universitas juga harus mendukung kegiatan-kegiatan mahasiswanya untuk dapat mendidik di daerah-daerah yang terpencil.
Hidup Mahasiswa! Tunjukkan aksimu di daerah-daerah pelosok negeri!

Senin, 24 Desember 2012

BE A GURU, NOT ONLY A TEACHER
AND BE A GURU SD, WHY NOT? J

Tahukah kalian? Guru merupakan tugas yang sangat mulia. Guru mengajarkan kita semua akan banyak hal. Kita jadi bisa membaca, menulis, dan berhitung berkat jasa seorang tanpa tanda jasa, guru. 3 pekerjaan yang sangat terhormat di Jepang: (1) petani, (2) guru, (3) penulis. Ya, guru merupakan pekerjaan kedua yang dihormati di Jepang. Saat Jepang di bom atom, satu pertanyaan yang muncul “berapa jumlah guru yang tersisa?”. Guru dianggap terhormat oleh negara Jepang karena dari guru itulah, anak-anak Jepang akan dididik untuk menjadi seorang penerus.
Dahulu, di Indonesia, guru merupakan pekerjaan yang sangat tidak diinginkan oleh kebanyakan orang. Mereka malu jika mereka menjadi seorang guru. Tingkat kesejahteraan guru sangat buruk, bahkan guru tidak mendapatkan gaji. Masih banyak pandangan “ngapain sih jadi guru SD?” Selintas, profesi ini memang tidak begitu menarik. Ya, begitulah yang dulu saya pikirkan. Tapi semuanya berubah ketika aku mulai terjun dalam dunia kependidikan, PGSD terutama. Menjadi guru SD tidaklah segampang yang kita pikirkan. Mungkin banyak persepsi yang mengatakan bahwa, “Halahh, jadi guru SD. Lulus SMA saja sudah bisa mengajar SD”.
Tapi, coba bayangkan ketika tidak mengenal yang namanya Ilmu Pendidikan dan teori-teori lain tentang kependidikan, bagaimanakah kita akan mengajar menjadi seorang guru SD. Guru SD membutuhkan keterampilan dari banyak hal. Seorang guru SD dituntut untuk bisa menguasai semua mata pelajaran. Mulai dari matematika, IPA, IPS, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, kesenian, dll, sungguh istimewa bukan seorang guru SD itu? Ia harus bisa semua hal, ia dituntut tak hanya sekadar mengajar, namun juga mendidik. Tahukah kalian, apa bedanya mengajar dan mendidik itu? Kedua hal ini sangat berbeda. Mengajar berkaitan dengan transfer ilmu, sedangkan mendidik berkaitan dengan transfer of value (nilai). Berbeda bukan?
Guru SD juga memiliki peran yang sangat penting. Ketika seorang guru melakukan kesalahan maka dampaknya walaupun tidak secara langsung akan terasa tidak kurang gawatnya dibandingkan dengan dampak negatif dari kesalahan medis yang dilakukan oleh dokter (Dwi Siswoyo, 2011:133). Guru SD merupakan sebuah profesi yang tidak mudah, membutuhkan banyak keterampilan, dan merupakan profesi yang nantinya akan menjadi fondasi dalam membentuk generasi bangsa yang berkarakter, tangguh, cerdas, dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila.
Profesi guru SD, tidak hanya profesi karena keterpaksaan. Kalau kamu masuk PGSD hanya karena paksaan orang tua, ayo luruskan niatmu. Menjadi guru SD insya Allah menyenangkan dan membawa berkah kalau niat kita juga baik. Keterpaksaan hanya akan membuatmu menyesal, kawan. Mulailah mencintai pekerjaanmu. Dengan mencintainya, kamu akan dengan senang hati dan ikhlas dalam menjalaninya. J
Mengenal anak SD, melihat keceriaan anak SD, melihat keaktifan anak SD di kelas akan membuatmu semakin bersemangat menjalani profesi mulia ini. Ya, begitulah yang aku rasakan setelah beberapa kali mengunjungi SD. Melihat kecerian anak-anak SD membuatku berangan-angan, “aku ingin cepat-cepat menjadi guru SD, mendidik dan mengajar mereka.”
So, BE A GURU SD, WHY NOT? J


LIKE KOREAN, BUT ALWAYS LOVE INDONESIA


LIKE KOREAN, BUT ALWAYS LOVE INDONESIA

Era globalisasi menuntut semua orang untuk terus mengembangkan kemampuannya agar tidak tergilas oleh zaman. Di zaman yang sudah modern ini, dengan berbagai alat komunikasi yang ada dapat membuat sesorang mengakses berbagai hal dari luar negara. Di era globalisasi ini, banyak kebudayaan luar yang masuk ke negara Indonesia. Kebudayaan-kebudayaan luar tersebut ada yang cocok serta ada yang tidak cocok diterapkan di Indonesia. Ketidakcocokan budaya tersebut dikarenakan budaya luar yang masuk ke Indonesia tersebut tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
Indonesia memiliki banyak kebudayaan dari sabang sampai merauke. Semua kebudayaan yang dimiliki Indonesia merupakan ciri khas yang dimiliki oleh Indonesia yang membedakan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia. Namun, lambat laun, seiring dengan perkembangan zaman kebudayaan Indonesia semakin ditinggalkan. Kebudayaan luar yang masuk menggeser kebudayaan-kebudayaan asli Indonesia.
Hal ini tentu menimbulkan keprihatinan, karena generasi muda yang seharusnya meneruskan dan melestarikan budaya Indonesia justru ikut terjebak dan terbawa arus budaya luar yang masuk ke Indonesia. Generasi muda Indonesia harus mampu membawa budaya Indonesia ke kancah internasional agar budaya Indonesia terus mempertahankan eksistensinya.
Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang masing-masing memiliki ciri khas. Sebagaimana dikatakan oleh Sedyawati (2006: 317) bahwa kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki manusia Indonesia hingga saat ini dapat digambarkan sebagai tumpukan pengalaman budaya dan pembangunan budaya yang terdiri dari lapisan-lapisan budaya yang terbentuk sepanjang sejarahnya.
Kebudayaan di Indonesia telah mengalami berbagai akulturasi. Dari berbagai catatan sejarah yang dialami bangsa Indonesia, Indonesia telah mengalami akulturasi dengan kebudayaan Hindu-Budha, pada zaman masuknya agama Islam, serta akulturasi dengan kebudayaan Eropa pada saat zaman kolonialisasi dan penjajahan.
Parekh (2008:217) mengatakan tentang kebudayaan bahwa:
Karena kebudayaan kita sangat kaya, kesetiaan kita terhadapnya memunculkan sejumlah kewajiban. Kita mempunyai kewajiban untuk menjaga kenangan tentang mereka yang telah memberikan kontribusi besar dalam kebudayaan kita dan mempertahankannya di saat-saat sulit, dan untuk meneladani cita-cita mulianya, baik sebagai ungkapan rasa terima kasih maupun sebagai komitmen kita yang berkesinambungan untuk meneruskan warisan kebudayaan. Kita juga wajib memepertahankan dan mewariskannya pada generasi selanjutnya yang kita anggap layak, untuk menyelamatkannya dari kesalahan-kesalahan yang bertentangan.

Sebagaimana dikatakan oleh Parekh di atas bahwa kita harus senantiasa menjaga dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Kita juga harus senantiasa mengekplorasi, memperdalam, serta memperbaiki kerusakan budaya kita. Keanekaragaman kebudayaan di Indonesia ini harus menyadarkan kita pada keanekaragaman budaya dalam diri bangsa. Kita harus mampu berlaku adil terhadap keanekaragaman budaya yang dimiiki bangsa Indonesia ini (Parekh, 2008:227). Tidak boleh terjadi perpecahan karena alasan perbedaan kebudayaan.
Salah satu contoh budaya luar yang sekarang ini booming di Indonesia adalah demam Korean Wave. Korean wave ini tidak hanya digemari oleh remaja, tetapi juga anak-anak SD dan para orang tua. Budaya Korea Selatan ini berhasil menunjukkan kiprahnya di dunia internasional. Di Indonesia pun Korean Wave ini sangat terkenal dan digemari dari banyak kalangan. Sebagai contoh, beberapa pekan lalu masyarakat Indonesia dengan berbondong-bondong penuh antusias menonton konser SM TOWN, yaitu konser para girl band dan boy band Korea Selatan yang tergabung dalam SM Entertainment di Gelora Bung Karno 22 September 2012 lalu.
Pemuda-pemudi berbondong-bondong dan dengan histeris mereka menyambut girlband dan boyband asal Korea selatan tersebut, ada yang sampai menangis histeris karena tidak bisa melihat dan bertemu dengan artis-artis pujaan mereka. Lalu, bagaimana apabila yang ditampilkan itu budaya Indonesia, sebagai contoh pagelaran wayang atau sendratari? Adakah yang dengan histeris menunjukkan kecintaannya terhadap kebudayaan Indonesia, bahkan apabila ada pagelaran wayang seperti itu penontonnya pun tak sebanyak ketika konser SM TOWN lalu.
Korean Wave ini bermula dari munculnya boyband dan girlband asal Korea Selatan yang mampu mendobrak industri musik di seluruh dunia. Tak hanya dari boyband dan girlband, sinetron dan film-film Korea Selatan mampu meracuni gaya hidup dan pemikiran orang di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
 Korean Wave membawa dampak yang luar biasa bagi bangsa Indonesia ini. Para pengikut setia Korean Wave tak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan uang mereka demi membeli berbagai aksesoris yang berhubungan dengan boyband dan girlband favorit mereka. Belasan bahkan puluhan juta pun rela mereka keluarkan demi menonton dan bertemu dengan boyband dan girlband yng mereka idolakan.
Hal ini sangat memprihatinkan tentunya, mengingat yang terjebak dalam arus Korean Wave adalah para generasi penerus bangsa yang nantinya akan membawa perubahan bagi bangsa Indonesia tercinta ini. Tak hanya mahasiswa dan pelajar SMA yang terjebak dampak Korean Wave, pelajar SD pun telah mengenal dan mengidolakan boyband dan girlband asal Korea Selatan ini. Dampak Korean Wave begitu terasa di Indonesia ini. Gaya rambut, pakaian, dan tingkah laku pun mengikuti trend budaya Korea Selatan.
Keberadaan Korean wave ini membuat generasi bangsa lebih tertarik dengan budaya Korea Selatan ini daripada budaya asli Indonesia. Pengagum Korean Wave lebih suka untuk mempelajari bahasa Korea daripada untuk mempelajari bahasa-bahasa daerah di tanah air Indonesia. Bila hal ini terus berlanjut, maka kebudayaan-kebudayaan Indonesia akan punah.
Deman Korean Wave yang melanda pelajar seolah menyebabkan kebutuhan akan pendidikan dinomorduakan. Para pelajar pecinta Korea ini lebih memilih untuk mengeluarkan uang mereka untuk menonton konser boyband dan girlband favorit mereka daripada menggunakan uang itu untuk membeli buku pelajaran atau bacaan yang bermanfaat. Mereka lebih memilih menggunakan uang yang berikan orang tua untuk membeli aksesoris-aksesoris yang kurang penting daripada untuk membayar uang sekolah. Mereka lebih memilih untuk menonton film Korea daripada menggunakan waktu mereka untuk belajar dan membaca buku.
Dampak yang lebih parah lagi dari Korean Wave tersebut adalah hilangnya rasa nasionalisme pelajar akan bangsanya sendiri, Indonesia. Para pecinta Korea lebih mengetahui dan memahami tentang negara Korea Selatan daripada negara mereka sendiri. Kebudayaan negara Indoensia pun mereka lupakan dan beralih pada budaya Korea Selatan yang mereka anggap lebih menarik.
Generasi bangsa Indonesia juga harus mampu menunjukkan aneka ragam kebudayaan Indonesia agar bangsa lain mengakui bahwa Indonesia adalah negara multikultur dan akan terus mampu menjaga kelestarian budayanya. Generasi bangsa harus mampu membedakan mana budaya luar yang sesuai dan tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Nasution, dkk (2007: xix) bahwa “putra-putra Indonesia tidak kalah dari bangsa lain. Hampir dalam setiap bidang putra-putra Indonesia mampu mengerjakan apapun,…”. Hal tersebut menunjukkan bahwa generasi bangsa Indonesia mampu membawa dan tetap melestarikan kebudayaan Indonesia.
Berbagai bentuk solusi perlu diterapkan untuk mengatasi masalah demam Korean Wave ini perlu dipikirkan mulai saat ini agar tidak berdampak negatif bagi bangsa Indonesia kelak. Berbagai solusi itu akan dijabarkan sebagai berikut. Pendidikan multikultural dapat dijadikan pegangan dalam memecahkan masalah Korean Wave. Dalam pendidikan multikultural terdapat mengajarkan siswa tentang kebudayaan-kebudayaan Indonesia, antara lain pembelajaran tentang tarian tradisional, musik tradisional, serta pakaian tradisional provinsi-provinsi di Indonesia. Siswa-siswa SD perlu mempelajari dan memahami kebudayaan di Indonesia. Siswa-siswa perlu ditanamkan rasa cinta terhadap tanah air agar ketika ada budaya lain yang masuk ke Indonesia para siswa mampu memfilter kebudayaan mana yang sesuai dengn jati diri bangsa Indonesia.
Dari pendidikan multikultural ini, siswa akan dikenalkan dengan beragam kebudayaan nasional. Dalam pendidikan multikultural tersebut siswa dididikkan untuk menghargai dan menghormati berbagai kebudayaan yang ada. Apabila dalam diri siswa telah tumbuh rasa cinta terhadap kebudayaan Indonesia, maka ketika demam Korean Wave melanda Indonesia, maka generasi penerus bangsa akan tetap cinta pada kebudayan Indonesia.
Keberhasilan pendidikan multikultural ini tidak lepas dari peran guru dalam menanamkan nilai-nilai kebudayaan kepada siswa. Guru harus memberikan contoh dan teladan kepada para siswa. Guru harus peka terhadap siswa dan perkembangan zaman yang senantiasa berkembang. Sebagai contoh, ketika siswa SD terlalu fanatik dengan Korean Wave, guru harus memberikan pengertian dan penguatan kepada siswa untuk tidak meninggalkan dan tetap mencintai kebudayaan asli Indonesia.
Peran orang tua juga sangat ikut andil dalam pendidikan multikultural. Orang tua harus mampu mengarahkan anaknya agar tidak terbawa dampak negatif dari Korean Wave. Selain untuk mengarahkan, peran orang tua disini adalah untuk menunjang pendidikan multikultural yang telah dilaksanakan di sekolah. Sehingga, siswa dapat melanjutkan pendidikan multikultural yang didapatkannya di rumah. Maka tidak akan terjadi miskonsepsi antara apa yang didapatkan di sekolah dengan apa yang didapatkan di rumah.



DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Adnan Buyung, dkk. 2007. Membongkar Budaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Parekh, Bhikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Penebit Kanisius.
Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.