Sekarang bukanlah
waktunya untuk mengeluh. Mengeluh karena salah jurusan? Buang saja rasa itu.
Mulailah mencintai apa yang kita miliki sekarang. Berilah motivasi pada diri
kita sendiri agar kita merasa mantap pada apa yang akan kita jalani. Kita
berpijak dengan kaki kita masing-masing, saat kita tidak yakin akan jalan yang
akan kita tempuh, maka selamanya kita akan terombang-ambing. Kalu bukan diri
sendiri yang memperjuangkan, lalu siapa lagi yang akan memperjuangkan?
Sering kita mengeluh
karena kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Ingatlah, bahwa Allah
memberikan apa yang terbaik untuk kita meskipun hal itu tidak sesuai dengan apa
yang kita inginkan. Aku teringat, kalimat-kalimat yang sering ditanyakan oleh
dosen-dosenku, “apa motivasi kalian masuk di PGSD? Karena keinginan sendiri
atau karena paksaan orang tua atau karena salah jurusan?” Kalau kalian para
calon bapak dan ibu guru, yang mana alasan kalian masuk PGSD? Hanya kalian yang
tahu jawabannya.. J
Aku akan sedikit
bercerita sedikit pengalamanku menjadi seorang calon Ibu Guru, semoga
bermanfaat. J
Observasiku di SD N 3 Pengasih, Kulon Progo
Pagi itu, anak-anak
sedang beristirahat. Aku datang dengan temanku dengan menggunakan sepeda motor.
Aku mulai memasuki gerbang SD. Sebagian anak melihat ke arah kami, lalu mereka
menghampiri kami berdua, “Ibu ibuu, ibuu mau KKN di sini ya?” kata mereka
manja, sambil ada yang membonceng ke sepeda motor yang kubawa, “bu, aku naik
yaa?” kata mereka riang. Aku bilang, “ehh hati-hati naiknya ya” Mereka naik ke
motor yang kubawa sampai ke tempat parkir, lalu mereka turun.
Dengan riang anak-anak
SD itu menyambut kami, mereka mengajukan berbagai pertanyaan. Kami mudah akrab.
Mereka mencium tanganku, seakan aku guru mereka. “Nama ibu siapa?” kata mereka
riang. “Ibu Lina. Kalau kamu namanya siapa?” kami saling berkenalan. Sungguh keceriaan khas anak-anak. Mereka bercerita banyak.
Ketika aku masuk ruang
kelas, mereka berbondong-bondong meminta berkenalan denganku. Mereka menjabat dan
mencium tanganku. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Aku bertemu dengan
sosok-sosok generasi penerus bangsa yang akan membangun bangsa Indonesia kelak.
Mereka membutuhkan pondasi yang kuat untuk bisa membangun bangsa yang hebat.
Merekalah anak-anak SD, yang kelak akan menjadi sahabat serta anakku. Dan
akulah guru, orang tua, dan sahabat yang harus bisa menuntun mereka menuju
jalan tujuan mereka masing-masing. J
Pengalamanku menjadi Ibu Guru bagi
Murid-Muridku
Aku memutuskan untuk
menjadi guru les di sebuah bimbingan. Menjadi “Ibu Guru” di kelas yang lebih
sedikit daripada kelas klasikal di SD yang sesungguhnya. Aku bertemu dengan
banyak anak dan dengan banyak karakteristik dan potensi. Banyak karakteristik
itulah yang membuatku harus memutar otak untuk bisa membuat pembelajaran yang
menarik untuk mereka. Dari sekian banyak kelas yang aku ajar, kelas 3 lah yang
menarik perhatianku. Mereka membuatku harus mengeluarkan tenaga ekstra ketika
mengajar. Di kelas itu ada anak yang sangat ramai, juga ada yang sangat
pendiam. Seorang guru dituntut untuk bisa merangkul semua peserta didiknya.
Namanya Aan, dia aktif, paling aktif di antara anak kelas 3. Dia suka berlari
kesana kemari, suka bercerita ketika sedang diajar, tapi menurut ketika kuberi
tanggung jawab. Pernah kusuruh dia menjadi asistenku, dan hanya dia yang
kusuruh untuk menuliskan jawabannya di papan tulis. Meskipun dia banyak
bercerita, tetapi ketika kubacakan soalnya, dia langsung menuliskan di papan
tulis. Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit kutemukan cara untuk
lebih dekat dengannya.
Satu lagi anak kelas 3
yang menarik perhatianku, namanya Fery. Pipinya sangat chubby, badannya gemuk dan sangat menggemaskan menurutku. Dia
sangat ramah kepadaku, pernah dia bertanya kepadaku, “Bu, kokk lama sekali
tidak ke sini?”, aku sedikit kaget dan terharu mendengarnya. Kamu perhatian
sekali nak.. J Pernah juga dia bertanya, “Bu, nanti
Ibu mengajar kelas berapa?”, kujawab “Ibu mengajar kelas 6 e”. lalu dia
membalas lagi “kokk tidak pernah mengajar kelas 3 lagi bu?”. Hari itu bukan
jadwalku mengajar kelas 3, dan aku sudah tidak lagi diberi jadwal untuk
mengajar kelas 3. Ketika jam istirahat les, dia sering mengunjungiku ketika aku
mengajar les di kelas lain. Dia mengintip dan sedikit-sedikit bertanya kepadaku,
kadang juga dia menggodaku.
Aku Bertemu Mereka saat Pertandingan Futsal
Malam itu, Rabu, 27
Maret 2013 aku memutuskan untuk menonton pertandingan futsal final kelasku.
Awalnya aku agak ragu, mau berangkat menonton atau tidak karena badanku agak
kurang sehat. Akhirnya aku memuruskan untuk berangkat. Sesampainya di sana, aku
kaget. Aku melihat mereka. Kedua murid lesku. Aan dan Fery. J
Ternyata mereka
menonton juga. Mereka diajak temanku yang juga merupakan guru les mereka.
Kucolek mereka. Ternyata mereka tidak merespon cepat, mereka asyik menonton
pertandingan. Lalu, saat mereka menoleh ke belakang, mereka berkata “lhoo Bu
Lina”. Aku membalasnya, “haiii, kalian nonton juga? Ke sini sama siapa?”
Ternyata Aan, sang anak
yang “luar biasa”, bisa akrab dan akur denganku. Ternyata begini cara mendekati
Aan. Saat aku mulai mengikuti kesukaannya, dia akan luluh juga. Yaa, itulah
anak-anak. J Kutemani mereka menonton. “Sini
Fery mau dipangku Bu Guru? (karena kebetulan bangkunya terpakai semua)” Aku
berbagi tempat duduk dengan Aan, dan Fery kupangku. Ternyata mereka serius
sekali menonton, terutama Aan. Saat kelasku membutuhkan dukungan, mereka berdua
juga berteriak mendukung kelasku, dengan senjata botol kosong sebagai musik pengiringnya.
Benar-benar aku senang
bertemu mereka. Aku jadi tahu, ternyata anak punya sisi untuk dapat didekati.
Tinggal bagaimana kita bisa menemukan sisi kedekatan dengan mereka. Bu Guru
sayang kalian. J
Banyak pengalaman yang
aku dapatkan menjadi seorang guru. Begitulah dunia anak-anak, mereka banyak
bermain, berlari, berbicara, dan memiliki rasa ingin tahu yang amat tinggi.
potensi mereka berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Potensi itulah yang perlu
digali dan digali untuk dapat berkembang secara optimal. Merekalah anak-anak SD
dengan sejuta kepolosan, mereka anak-anak yang perlu mengetahui banyak hal dari
guru mereka. Mereka membutuhkan sosok guru sebagai orang tua dan sahabat di
sekolah.
Ketika kamu bertemu
dengan mereka secara langsung, maka kau akan merasakan sendiri panggilan jiwa
dan tugas mulia untuk mendidik seorang anak menjadi orang luar biasa. Dalam
dadamu akan bergemuruh, “aku ingin mereka bisa, aku ingin mereka tahu, aku
ingin mereka paham, aku ingin mereka menjadi generasi penerus bangsa ini
menjadi bangsa yang hebat”. Mendidik itu mulia, kawan, ketika kita ikhlas
menjalaninya. Menjadi guru itu panggilan jiwa, bukan karena terpaksa. Selamat
berlomba-lomba dalam kebaikan J