Sekolah
sebagai lembaga formal nampaknya kurang mendapatkan kepercayaan yang besar dari
orang tua murid. Lembaga-lembaga bimbingan belajar nonformal pun kian menjamur
di berbagai daerah di tanah air. Para orang tua cenderung memasukkan anak
mereka ke lembaga-lembaga bimbingan belajar yang mereka anggap lebih mampu
untuk mengubah anak mereka menjadi manusia cerdas yang instan.
Lembaga
bimbingan belajar menawarkan kepada masyarakat suatu metode belajar yang mampu
membuat anak mereka berprestasi secara akademik. Namun, jika kita telusur,
metode yang digunakan di lembaga bimbingan belajar tersebut hanyalah metode
instan yang membuat para siswa tidak mengerti akan konsep dari mata pelajaran
yang diberikan. Para siswa hanya tahu cara-cara cepat dan praktisnya saja. Maka
yang terjadi adalah siswa akan kesulitan untuk menjawab soal konsep yang
sebenarnya sangat sederhana, tetapi dengan cekatan siswa dapat menjawab soal
yang begitu sulit hanya dengan cara praktis saja.
Orang
tua tanpa segan memasukkan anaknya ke lembaga bimbingan belajar. Tak hanya
anak-anak yang kurang mampu menerima pelajaran di sekolah saja yang dibimbing
di lembaga bimbingan belajar nonformal, tetapi juga anak yang dapat dikatakan
pandai pada setiap mata pelajaran pun mengikuti bimbingan belajar tersebut.
Harapan orang tua adalah agar anaknya yang pandai tersebut dapat semakin
meningkatkan nilai akademiknya di sekolah. Sedangkan harapan orang tua yang
anaknya kurang dalam menyerap mata pelajaran adalah agar anaknya tersebut dapat
memperbaiki nilai akademiknya di sekolah.
Orang
tua terlalu mengekang anak dengan mengikuti segala jenis lembaga bimbingan
belajar hanya untuk mendapatkan nilai akademik yang baik. Anak yang kurang
dalam mata pelajaran tertentu dipaksa untuk mengikuti lembaga bimbingan
belajar, tetapi jika lihat kondisi psikologis anak, tentu hal itu akan semakin
membatnya tertekan karena ia harus terus berkecimpung dengan hal yang memang ia
tidak suka dan belum mampu untuk menguasainya. Orang tua perlu memahami anaknya,
potensi lain apa yang dimiliki anaknya itu. Dan sebagai orang tua yang baik, justru
orang tua harus menggali potensi yang ada di dalam diri sang anak agar potensi
itu berkembang, bukan terus menekan anak kepada hal-hal yang memang anaknya itu
tidak suka. Bagi orang tua, yang terpenting adalah anaknya mendapatkan nilai
tinggi dan bisa menjadi juara kelas. Pandangan orang tua yang seperti itu perlu
diperbaiki, karena bukan hanya aspek kognitif saja yang membuat anak itu
berkembang, namun juga harus memperhatikan aspek afektif dan psikomotor sang
anak.
Tak
hanya orang tua, siswa itu sendiri juga bangga dan seakan sangat mengagungkan
lembaga bimbingan belajar nonformal itu. Siswa lebih percaya kepada lembaga
bimbingan belajar itu daripada guru mereka di sekolah. Alhasil ketika pelajaran
di sekolah, siswa lebih banyak yang bercerita sendiri tanpa memperhatikan
pelajaran yang di sampaikan oleh guru.
Pelaksanaan
lembaga bimbingan belajar ini tentu berlawanan dengan pendidikan karakter yang
sekarang ini sedang gencar dilaksanakan di setiap lingkungan instansi
pendidikan. Apakah Indonesia akan terus menciptakan insan yang cerdas di bidang
intelektual tanpa ada penyeimbangnya, yaitu moral? Sekolah merupakan lembaga
yang tak hanya sebagai lembaga yang memberi pengajaran, namun juga memberikan
pendidikan, tak selamanya harus mengukur kemampuan anak dengan nilai akademik.
Jika ini yang terus dilakukan, maka siswa-siswa akan terus mengejar nilai akademik
tersebut agar mendapatkan nilai sempurna. Pendidikan seperti ini lah yang
selama ini terjadi di Indonesia. Sehingga menimbulkan praktik-praktik
kecurangan pada diri siswa.
Guru
sebagai pengajar dan pendidik kurang memberikan inovasi dalam setiap
pengajarannya, sehingga membuat siswanya menjadi jenuh dengan metode belajar
yang biasa-biasa saja. Metode yang biasa-biasa saja ini membuat siswa beralih
ke lembaga-lembaga bimbingan belajar untuk mendongkrak nilai akademiknya di
sekolah. Dengan semakin banyaknya siswa yang masuk dan belajar ke lembaga
bimbingan belajar nonformal, membuat lembaga bimbingan nonformal semakin harum
namanya. Dan dengan bangganya lembaga bimbingan belajar mempromosikan
lembaganya menggunakan siswa yang berprestasi tinggi. Siswa yang memperoleh
peringkat tertinggi Ujian Nasional, mereka jadikan brosur, sehingga masyarakat
akan terus berfikir bahwa lembaga tersebut dapat mencetak anak berprestasi.
Guru
di sekolah seharusnya lebih percaya diri bahwa ia mampu mendidik dan mengajar
yang lebih baik bagi siswa-siswanya. Jika guru percaya diri dan mampu
menggunakan segala potensi yang ada serta dapat menerapkan metode pembelajaran
yang kreatif, maka siswa akan lebih suka diajar guru mereka sendiri
dibandingkan masuk ke lembaga bimbingan belajar nonformal. Hal penting yang
kadang diabaikan oleh guru adalah karakteristik siswa yang diajarnya.
Karakteristik siswa itulah yang menjadi kunci ketika guru akan menyampaikan
materi pelajaran. Karakter yang berbeda tentu membuat metode pembelajaran yang
digunakan berbeda pula. Ini merupakan tantangan bagi setiap guru untuk dapat
menerapkan metode yang mendukung bagi siswa. Guru yang bersertifikat tentu
sangat diharapkan dapat menciptakan suasana yang kondusif tersebut, bukan hanya
untuk mendapatkan gaji besar semata tanpa ada kemajuan cara mendidik dan
mengajarnya.
Sekolah
diharapkan dapat menjadi lingkungan yang nyaman dan kondusif untuk menciptakan
perkembangan yang optimal bagi siswa. Perkembangan optimal di sini adalah
perkembangan yang sesuai dengan potensi dan sistem nilai kehidupan yang baik
dan benar masing-masing siswa. Dan perkembangan optimal tidaklah bisa diukur
dengan tingkat intelektual yang tinggi melainkan di mana siswa dapat mengenal
dan memahami diri, dapat mengarahkan diri sesuai dengan sistem nilai, dan
mengambil keputusan dengan tanggung jawab sendiri, serta terciptanya moral yang
baik bagi setiap siswa.
Oleh Lina Puspitaning Rahayu, Mahasiswa PGSD, FIP, UNY
Dimuat di Harian Merapi Selasa Wage, 10 April 2012